Komunikasi Politik

19.18.00Rafles Abdi Kusuma, S.Ikom, M.A

KOMUNIKASI
PADA TINGKAT ELIT PRESIDEN
(BIROKRAT)


PEMILIHAN presiden putaran kedua akan digelar 20 September 2004. Tinggal dua calon yang akan kita pilih: Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dilihat dari berbagai segi, kedua kandidat tersebut tidak terlalu istimewa, sehingga sebagian orang malah sudah memutuskan untuk golput saja. Telaah mengenai kedua kandidat presiden tersebut di media massa, baik cetak maupun elektronik, selama ini lebih banyak dilihat dari sudut pandang politik.

Untuk memilih presiden secara rasional, kita dapat mendaftar sejumlah kriteria yang masing-masing kita beri nilai, dan bobot jika diperlukan. Misalnya integritasnya (kejujuran), kepemimpinannya, kecerdasannya, kemampuan berkomunikasinya, dsb. Nilai kumulatif (indeks) dari kesemua kriteria dalam matriks itulah yang kita jadikan patokan untuk memilih presiden. Siapa yang indeksnya lebih tinggi, dialah yang lebih layak kita pilih sebagai presiden.

Kemampuan berkomunikasi tampaknya merupakan faktor penting. Bahkan, menurut banyak penelitian di Amerika, merupakan faktor terpenting yang berkontribusi terhadap kesuksesan seorang Chief Executive Officer (CEO) dalam sebuah organisasi, yang dalam sebuah negara tentu saja adalah presiden. Sesungguhnya seorang pemimpin, apalagi seorang presiden, haruslah mampu membangun sistem komunikasi dengan bawahannya, termasuk rakyat. Lantas, siapakah di antara kedua capres tersebut yang kemampuan komunikasinya lebih baik?

**

UNTUK membangun Indonesia yang makmur sekaligus berwawasan budaya, kita harus membangun birokrasi (manajemen)-nya. Inti birokrasi adalah komunikasi. Tanpa mengembangkan komunikasi yang sehat, tidak mungkin kita mampu membangun birokrasi yang sehat. Sayangnya, birokrasi di Indonesia penuh dengan paradoks.

Sebagaimana dikemukakan penggagas awal birokrasi, Max Weber, birokrasi mengisyaratkan ketertiban, keteramalan, dan kecermatan informasi, meskipun keadaan ini cenderung menjadikan organisasi seperti mesin, sementara individu-individu dalam birokrasi sekadar bagian atau bahkan skrup organisasi. Kultur birokrasi di Indonesia sungguh berbeda dengan birokrasi ala Max Weber, yang menggunakan konsep Edward T. Hall (1966, 1976)-- berbudaya konteks rendah, sementara masyarakat Indonesia, sebagaimana masyarakat Asia umumnya, berbudaya konteks tinggi.

Budaya konteks tinggi ditandai dengan komunikasi konteks tinggi yang makna pesannya samar. Makna terinternalisasikan pada orang yang bersangkutan, dan pesan nonverbal lebih ditekankan. Orang boleh jadi mengajukan pertanyaan atau memberikan jawaban, tetapi makna sebenarnya terdapat dalam konteks (budaya) orang-orang bersangkutan, bukan pada pesannya sendiri. Maka, dalam budaya konteks tinggi ekspresi wajah, tensi, gerakan, kecepatan interaksi, dan lokasi interaksi lebih bermakna.

Orang dalam budaya konteks tinggi mengharapkan orang lain memahami suasana hati yang tak terucapkan, isyarat halus, dan isyarat lingkungan yang diabaikan orang berbudaya konteks rendah (Andersen et al., 2002: 100). Budaya komunikasi Indonesia yang tertutup itu tampak dalam kenyataan tidak adanya aturan atau panduan yang rinci mengenai bagaimana misalnya kita mengurus KTP, SIM, STNK, atau paspor yang dipasang di tempat-tempat strategis. Dan kita tahu para pegawai dan birokrat memanfaatkan kondisi ini dengan mengharapkan dan menuntut uang pelicin untuk pengurusan surat-surat penting tersebut. Pendeknya, KKN tumbuh "alami" dalam budaya konteks tinggi.

Kontras dengan budaya konteks tinggi, budaya konteks rendah sibuk dengan spesifikasi, rincian, dan jadwal waktu yang persis dengan mengabaikan konteks. Bahasa yang digunakan langsung dan lugas (Levine dan Adelman, 1993: 68). Beberapa perusahaan swasta di Indonesia menunjukkan kecenderungan komunikasi konteks rendah (dalam bentuk aturan yang eksplisit dan ketepatan waktu kerja) daripada birokrasi pemerintah. Implikasinya, norma-norma yang mengatur lembaga yang menganut komunikasi konteks rendah lebih transparan daripada norma-norma yang mengatur lembaga yang menganut komunikasi konteks tinggi, misalnya aturan tentang jenjang karier, sistem merit, kedisiplinan (jam kerja), sistem imbalan, dsb.

Karena kebutuhan untuk secara penuh memahami makna kontekstual simbol, Hall berpendapat bahwa komunikasi konteks tinggi merupakan kekuatan kohesif bersama yang memiliki sejarah yang panjang, lamban berubah dan berfungsi untuk menyatukan kelompok (Goodman, 1994: 43). Dengan sifat demikian, masyarakat berbudaya konteks tinggi lebih menekankan harmoni kelompok daripada kepentingan individu. Akibatnya, orang kurang berinisiatif untuk menelorkan gagasan baru. Kritik tidak berkembang, terutama dari bawahan ke atasan, karena dianggap mengancam harmoni kelompok alih-alih sebagai masukan untuk memperbaiki keadaan.

Untuk tidak menyinggung perasaan atau mempermalukan orang lain, kita berusaha untuk tidak memberikan jawaban negatif. Karena itu orang Indonesia sering menjawab "ya" padahal sebenarnya tidak, misalnya untuk menjawab pertanyaan, apakah Anda setuju? Untuk mengomentari pernyataan orang lain, kita sering tidak tegas. Untuk menjaga perasaan si penanya misalnya, dengan mengatakan "insya Allah", "mungkin", "terserah", "saya akan berusaha", "ya, jika itu yang Anda kehendaki", "bagaimana nanti saja", dsb.

Para politisi, termasuk birokrat, gemar menggunakan kata-kata yang generik, berabstraksi tinggi, dan bersayap. Dalam masyarakat komunikasi konteks tinggi seperti Indonesia, kecenderungan tersebut lebih besar lagi, misalnya dengan mengatakan, "demi persatuan dan kesatuan bangsa", "sepanjang ada dalam koridor hukum, sesuai dengan peraturan yang berlaku", "terserah kepada hati nurani pejabat yang bersangkutan", atau perilaku-perilaku nonverbal tertentu (termasuk diam) yang sebenarnya sangat bermakna, seperti diamnya Megawati pada masa lalu.

Jawaban yang terlalu spesifik akan dianggap merusak suasana, misalnya memojokkan seorang pejabat tinggi atau suatu lembaga yang penting. Oleh karena itu, ketika berbicara dengan politisi dan birokrat kita harus lebih kritis untuk memaknai apa yang sebenarnya mereka maksudkan. Kita tidak hanya mengandalkan diri pada pesan verbal sang birokrat, tetapi juga pesan nonverbalnya. Pesan nonverbal ini boleh jadi merupakan pesan sebenarnya, dan karena itu harus dikemukakan untuk mengualifikasi pesan verbalnya, misalnya seperti dalam kalimat berita berikut: Menteri X berkata, "Saya tidak marah atas tuduhan korupsi itu," (dengan nada suara yang tinggi, dan mata melotot).

**

GAYA komunikasi yang efektif tampaknya merupakan perpaduan antara sisi-sisi positif komunikasi konteks tinggi dan komunikasi konteks rendah, yang ditandai dengan ketulusan, kejernihan, keterbukaan, keterus-terangan, kesederhanaan, dan kesantunan dalam berbicara. Saya menyebutnya "komunikasi efektif" atau "komunikasi konteks-menengah." Siapakah tokoh yang berkomunikasi demikian? Saya rasa Nurcholish Madjid adalah salah satunya. Tidak mengherankan jika pada tahun 2003 ia terpilih sebagai satu dari enam tokoh yang berbahasa Indonesia lisan terbaik oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional bersama tujuh organisasi media massa. Bukan komunikasi Gus Dur yang konteks tinggi atau komunikasi Amien Rais yang konteks rendah. Sayang, Nurcholish tidak dicalonkan partai politik untuk menjadi presiden kita.

Lalu, bagaimana dengan Megawati dan SBY? Megawati tampaknya berkomunikasi konteks tinggi, antara lain ditandai dengan seringnya berdiam diri ketika ditanya oleh wartawan, sedangkan SBY berkomunikasi konteks-menengah (yang merupakan perpaduan antara gaya komunikasi konteks tinggi orang Jawa dan gaya komunikasi konteks rendah militer), yang ditandai dengan kesantunan, seperti juga Nurcholish Madjid. Maka kesimpulannya --tanpa bermaksud berkampanye-- kalau kita sepakat bahwa kemampuan berkomunikasi ini merupakan faktor penting bagi seorang presiden, SBY tampaknya punya peluang lebih besar untuk terpilih sebagai presiden mendatang, asal saja aspek-aspek lain kriteria yang kita tetapkan untuk SBY punya nilai rata-rata lebih tinggi daripada nilai rata-rata Megawati. Silakan berhitung sendiri. Itu pun kalau Anda pemilih rasional.***

You Might Also Like

0 komentar

Mohon bila ingin di copy. beri koment ke saya..terima kasih..!!! Butuh Informasi bisa isi formulis Kontak (mohon isi email asli agar saya bisa membalas segera) Terima Kasih

Popular Posts

Formulir Kontak