umum

ISLAM PADA MASYARAKAT INDONESIA DITENGAH HEGEMONI DUNIA

19.36.00Rafles Abdi Kusuma, S.Ikom, M.A

ISLAM PADA MASYARAKAT INDONESIA
DITENGAH HEGEMONI DUNIA


Islam sebagai agama yang bersumber pada zat yang maha Suci dan maha Mulia, yaitu Allah SWT. Bertujuan membawa kebaikan pada semesta alam. Sehingga apapun masalah yang ada dalam masyarakat Indonesia seharusnya kita mampu untuk segera menjawabnya dengan berlandaskan pada nilai-nilai kesucian dan kemuliaan Islam. Tapi bila kita cermati keadaan Masyarakat Indonesia saat ini, sadarkah kita bahwa ada segudang masalah yang mengantri untuk dicarikan jalan keluarnya. Masalah-masalah yang ada begitu kompleksnya untuk diselesaikan. Seringkali kita mendengar bahwa masalah itu harus dipecahkan, tapi sebenarnya suatu masalah bukanlah untuk dipecahkan tapi haruslah untuk diselasaikan. Memecahkan masalah tidak berarti otomatis menghilangkan masalah yang ada, karena yang sebenarnya terjadi hanyalah menjadikan masalah yang ada menjadi kepingan-kepingan yang jumlahnya bertambah banyak dan semakin rumit untuk diselesaikan. Artinya pada masyarakat telah ada berbagai masalah yang harus dipahami, dipikirkan dan dihadapi sebagai suatu tantangan yang harus. Permasalahan-permasalahan yang ada dalam masyarakat berkaitan erat dengan perubahan sosial yang terjadi disekitarnya, bila masyarakat tidak siap dengan perubahan yang terjadi maka disinilah terjadinya kesenjangan antara kemampuan dengan kenyataan , dan inilah yang disebut masalah.
….mesipun secara detail kesadaran itu memiliki latarbelakang yang berbeda-beda, tetapi ada “benang hijau” yang mempertemukan perbedaan itu –yaitu kesadaran transedental untuk menanyakan kembali “apa yang seharusnya terjadi dalam kenyataan sosial menurut Islam dengan yang senyatanya terjadi dalam realitas”….1)


1) Achmad, Amrullah. 1983. Dakwah Islam dan Perubahan Sosial. Hal : 3
Perubahan sosial sebagai salah satu karakteristik dari kehidupan masyarakat pada dasarnya memang bersifat dinamis. Sama seperti masyarakat yang selalu berubah, mau tidak mau, suka tidak suka perubahan dalam masyarakat pasti terjadi. Perubahan sosial sudah menjadi hukum alam (sudah menjadi fitrahnya). Untuk itulah dalam menghadapi perubahan yang terjadi kita harus kembali kepada nilai-ilai yang ada pada diri kita, salah satunya adalah nilai agama.
Masyarakat Indonesia yang mayoritasnya adalah muslim seharusnya mampu keluar dari persoalan dalam menghadapi hegemoni dunia barat. Tapi pada kenyataanya, yang terjadi adalah masyarakat Islam Indonesia terlihat tidak mampu dan tidak berdaya dalam menahan serangan hedonisme, kapitalisme, dan liberalisme yang merupakan senjata bagi hegemoni dunia barat dalam mengalahkan paham-paham yang bertentangan dengannya. Jangankan untuk mampu menjadi bagian dari solusi, untuk menyelamatkan diri saja sepertinya masih dipertanyakan kesanggupannya. Hal ini disebabkan karena masyarakat Islam Indonesia tidak mampu dan tidak mau menjalankan nilai-nilai Islam secara menyeluruh pada semua bidang kehidupannya, sehingga karena pemahaman yang setengah-setengah dan kemauan yang juga setengah-setengah, Masyarakat Islam Indonesia tidak mampu untuk melihat persoalan yang ada, dan ketika ia tidak mampu untuk melihat masalah yang ada, ia tidak akan pernah menemukan jalan untuk mengatasinya. Artinya Masyarakat Islam khususnya yang ada di Indonesia belum mampu mencerminkan Islam yang rahmatan lil’alamin,
Kemerosotan yang dianggap menjadi biang dari berbagai krisis yang terjadi di Indonesia bermula pada tahun 1998 (saat keruntuhan rezim orde baru). Krisis yang menerpa bangsa ini terjadi di semua bidang kehidupan, salah satunya adalah kemerosotan moral di bidang politik. Kehidupan politik di Indonesia saat ini sungguh memprihatinkan, yang terjadi adalah kehidupan politik yang seolah tanpa aturan, dimana merah dan putih seolah diperebutkan untuk menunjukan siapa yang paling berkuasa atas negeri ini. Hal ini tidak hanya dilakoni oleh orang-orang yang ada di dalam negeri, tapi tanpa disadari mereka juga telah diperalat oleh pihak lain yang berada di luar lingkaran negeri ini. Semua ini menyebabkan hegemoni asing makin menyebar dan mengakar di Indonesia.
Tidak ada ahli yang mampu mendefinisikan “hegemoni” secara spesifik , tapi bila kita melihat runtutan awal munculnya istilah hegemoni hingga pelaziman dalam penggunaan kata ini yang seolah menjadi murah meriah seperti kacang goreng maka kita akan mengerti bahwa hegemoni adalah bentuk dari upaya untuk mempertahankan status quo dalam hal kekuasaan.
Sejarah telah mencatat bahwa rezim yang berhubungan dengan kekuasaan liberalisme lahir setelah pergulatan yang panjang melawan rezim teokrasi, melalui bendera reformasi agama yang diusung oleh Marthin Luther. Sebelumnya, sejak abad keenam masehi Islam menjadi entitas yang sangat mewarnai peradaban dunia, khususnya dunia bagian timur termasuk sebagian Eropa, dan Katholik di belahan bumi bagian barat.
Euforia kaum liberalis, seperti diakui sendiri oleh penggagasnya, telah melewati batas-batas yang dikehendaki dari maksud reformasi agama itu sendiri. Munculnya polytheisme dan atheisme, merupakan fenomena yang tak terhindarkan. Bahkan, semangat etika protestan (protestan ethic) yang melatari kaum pemodal waktu, telah menggiring lahirnya kapitalisme ditengah peradaban baru. Tetapi, lahirnya faham yang menempatkan modal diatas segalanya itu, bukanlah sesuatu yang mereka takuti. Tetapi justru dianggap sebagai angin surga, karena dianggap mampu mengantarkan mereka mencapai tujuan maksimal, yakni kepuasan materi yang didapatkan dari benda-benda modal tersebut.
Lahirnya Karl Marx pada dua setengah abad berikutnya, dianggap sebagai ancaman keras atas hegemoni mereka terhadap kaum buruh yang menjadi tulang punggung kehidupan hedonisme ala dunia barat. Ajaran Marx yang membawa angin segar bagi kaum buruh, berkembang menjadi ideologi komunis, yang pada abad 20 mendapat dukungan hampir dari separuh penduduk dunia. Meski kemudian runtuh kembali setelah tiga abad mengalami tekanan politik yang signifikan dari kaum kapitalis. Dan komunis hancur untuk sementara, setelah Uni Soviet terkena virus glasnost, yang merupakan wajah liberalisme dalam bentuk lain.
Konsekuensi dari perubahan kontelasi global tersebut telah menempatkan Amerika Serikat sebagai promotor kaum liberalis-kapitalis menjadi penguasa tunggal ditengah hegemoni dunia. Kehadiran organisasi internasional made in AS dan negara-negara kapitalis, seperti PBB, selain dijadikan sebagai escalator penghancuran blok timur (komunis), juga sebagai justificator gerakan hegemoni mereka.
Ketidakberdayaan organisasi internasional dan sebagian besar negara-negara yang tergantung pada bantuan Amerika dalam menghadapi tekanan politik AS dan sekutunya sebagai “Pemilik Utama” PBB, merupakan bukti bahwa kehadiran organisasi tersebut lebih bermuatan ideologis daripada membawa misi humanis, dan teror yang terjadi di World Trade Centre, AS 2001 dan Tragedi Bali, Indonesia 2002 menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses pergulatan panjang antara liberalisme-kapitalisme melawan berbagai isme yang mengancam eksistensi isme mereka. Dan Islam, sebagaimana dianalisis oleh Samuel P. Huntington dalam Clash of Civilization, menjadi kekuatan potensial yang mengancam hegemoni mereka.
Kemunculan dua faham, yakni Islam dan komunis, dalam konstelasi hegemoni dunia khususnya yang digagas oleh dunia barat, memberikan tekanan berat yang cukup berat bagi pergerakan kaum liberal-kapitalis, yaitu mengancam sekaligus mendegradasi hegemoni dunia barat atas masyarakat dunia. Sehingga, isu demokratisasi pun dihembuskan sebagai upaya melakukan “aksi damai” guna melakukan konsolidasi, sekaligus sebagai senjata untuk memenangkan kembali hegemoni yang hampir tercerabut dari tangan dunia barat. Asumsi politik yang melekat dalam sistem yang mengutamakan tentang nilai “mayoritas” itu hanya menegaskan kembali bahwa pertarungan hanya akan dimenangkan oleh mereka yang kuat (jumlah suara banyak dan kemampuan finansial/modalnya kuat) sehingga kemenangan akan tetap jatuh pada kaum kapitalis --persis tudingan Marx bahwa politik dalam asumsi demokrasi hanya akan menjadi subordinasi dari kepentingan kaum kapitalis--. (Robi Nurhadi :2003)
Sementara itu, bagi kedua faham diatas khususnya Islam, gagasan demokrasi justru memberikan harapan bagi perbaikan kehidupan politik, yang sejak jaman pasca Khulafaurrasyidin mengalami distorsi yang sangat hebat, karena kehidupan politik islam saat ini sama sekali jauh dengan kehidupan politik yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah.
Demokrasi bagaikan buah simalakama. Satu sisi, walaupun gagasan demokrasi dari dunia liberal-kapitalis itu merupakan faham politik yang dianggap lebih memberikan prospek dalam menciptakan keadilan dan persamaan melalui suara rakyat. Di sisi lain, ide demokrasi liberal bertentangan dengan ide dalam islam yang lebih mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Dimana Musyawarah untuk mufakat bertujuan agar tidak ada lagi bagian dari masyarakat yang rasa penolakannya masih menggumpal ketika suatu keputusan disahkan secara resmi (hal inilah yang menimbulkan kekecawaan dan pemberontakan). Atau dengan kata lain keputusan dalam islam diambil secara kolektif-kolegial. Kolektif dimaksudkan bahwa permasalahan dibahas sevara bersama-sama, dan tidak ada yang berkuasa penuh dalam pengambilan keputusan. Kolegial diartikan bahwa sistem kebersamaan dan kekeluargaan menjiwai proses pengambilan keputusan.
Dimata kaum liberalis-kapitalis, esensi kehidupan politik Islam hanya diartikan sebagai teokrasi yang mengenyampingkan pengelolaan nilai-nilai persamaan dan keadilan melalui tangan masyarakat, tetapi yang ada hanyalah keputusan yang diambil oleh seseorang yaitu nabi, yang disebut sebagai utusan Tuhan di dunia. Pandangan ini menyebabkan beberapa pengamat politik mengasumsikan bahwa penerapan demokrasi dalam dunia islam hanya akan menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam sendiri. Rumusan para ahli ni rupanya tidak boleh dianggap sepele, karena bibit-bibit perpecahan ini sudah ada dan mulai menyebar disebagian kalangan muslim, khususnya di Indonesia. Gagasan demokrasi bisa dikatakan hampir menjadi komoditas politik yang menjadi sumber pertentangan dengan kelompok Islam moderen.
Demokrasi yang awalnya hanya merupakan upaya melakukan “gencatan senjata” terhadap tekanan komunisme dan Islam, berkembang menjadi ancaman serius bagi kaum kapitalis. Lahirnya partai-partai politik di negara-negara berkembang telah menciptakan kekuatan masyarakat non kapitalis yang semakin memperkuat peranan masyarakat dalam pengambilan kebijakan, sekaligus mengeliminir kekuasaan yang kerap melekat di kalangan kapitalis terhadap proses politik.
Ketika proses penguatan politik dari umat Islam terjadi dari akibat langsung adanya kebebasan politik melalui sistem demokrasi, yang berakibat pada kemenangan kelompok-kelompok Islam dalam pemilu yang diselenggarakan di beberapa negara mayoritas berpenduduk Islam seperti Indonesia, Aljazair dan Turki, justru menjadi ancaman bagi negara-negara kapitalis. Hal ini dapat dilihat ketika negara-negara kapitalis seperti Amerika Serikat dan sekutunya yang memperlihatkan sikap yang kontra demokratis terhadap Indonesia akhir-akhir ini.

Kesimpulan
Hegemoni asing memang masih akan terus diperdebatkan tanpa tahu kapan akan berakhir, tapi yang pasti kita sebagai bagian dari masyarakat Islam dunia pada umumnya dan Indonesia pada hususnya,harus menyadari dan berfikir bahwa upaya penguasaan ini tidak boleh dibiarkan dan merajalela menindas hak-hak asasi manusia.
Sudah saatnya Islam bangkit kembali setelah mengalami penderitaan panjang menghadapi hegemoni barat dalam bentuk imperialisme. Sudah saatnya kita membuktikan bahwa kta mampu untuk melepaskan diri kita dari jeratan dunia barat dan ketergantungan kita pada mereka. Semua ini haruslah diawali dengan tekad yang kuat dan konsistensi dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, demi terciptanya kehidupan dunia yang penuh dengan kedamaian.

You Might Also Like

0 komentar

Mohon bila ingin di copy. beri koment ke saya..terima kasih..!!! Butuh Informasi bisa isi formulis Kontak (mohon isi email asli agar saya bisa membalas segera) Terima Kasih

Popular Posts

Formulir Kontak